Berawal di tahun 1998, ibu Semiwati meninggal secara mendadak. Semiwati yang pada saat itu sedang melanjutkan sekolah di Jakarta segera dipanggil pulang. Semiwati benar-benar tidak menyangka ibunya bisa pergi secepat itu. Dia tak dapat mempercayai penglihatannya ketika mendapati ibunya yang telah terbujur kaku di dalam peti mati. Dua bulan sebelumnya, saat Semiwati pulang untuk liburan Natal, ibunya masih terlihat segar bugar, tak tampak menderita suatu penyakit yang serius. Belakangan baru diketahui kalau ibunya ternyata terkena serangan jantung.
"Saat mama saya meninggal, saya sangat sedih karena saya kehilangan orang yang saya kasihi. Saya tidak bisa menerima kenyataan itu. Saya sangat shock karena memang yang saya tahu mama saya sehat-sehat saja," kisah Semiwati.
Pada dasarnya Semiwati adalah seorang yang pendiam, selalu memendam segala sesuatu di dalam hatinya. Kematian ibunya yang datang begitu tiba-tiba, menyisakan duka yang begitu mendalam. Semiwati seakan tidak bisa membendung kesedihan dan kekecewaannya sehingga emosinya mulai tak terkendali. Tidak ada yang menyadari kalau sebenarnya Semiwati begitu merasa sendirian dan takut menghadapi hari-hari depan dalam hidupnya. Dari luar orang hanya melihatnya sebagai pribadi yang tabah. Sebelum kematian ibunya, Semiwati ternyata menyimpan beban yang lain, yaitu berakhirnya hubungan yang sudah cukup lama ia jalani dengan pacarnya dan juga beban karena harus menanggung seorang adiknya yang sakit. Bom waktu itu akhirnya meledak. Kelakuan Semiwati mulai menjadi aneh dan kehilangan kontrol. Ia bisa berteriak-teriak lalu kemudian tertawa tanpa alasan.
Jiwa Semiwati yang terguncang dan tak terkendali membuat Semiwati harus dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan khusus. Semenjak saat itu, Semiwati menjalani perawatan di rumah sakit jiwa. Semiwati diharuskan untuk minum obat penenang secara rutin. Semiwati juga ditempatkan di dalam suatu ruangan yang mirip penjara. Makanan untuknya pun harus diserahkan lewat bawah pintu.
Kalau sedang kumat, Semiwati jadi suka berhalusinasi. Seringkali mimiknya berubah menjadi ketakutan dan sering berbicara sendirian. Dalam hal penampilan, Semiwati memang tidak tampak kucel. Tapi sepertinya ia berusaha sangat keras agar tetap bersih sehingga dalam sehari Semiwati bisa mandi sampai tujuh kali. Pada waktu yang lain, Semiwati berlagak sedang berkotbah, kadang dia merasa harus dibaptis, dan dia merasa seperti di sungai Yordan lalu membagi-bagikan makanan kepada orang-orang di sekitarnya.
"Mukanya Semi kelihatan sedih, tatapan matanya kosong. Selama di rumah sakit, yang kami tahu dalam sehari Semiwati bisa mandi sampai beberapa kali. Dia memang jarang ngobrol jadi kami tidak pernah tahu apa isi hatinya," jelas Cynthia, kerabat dekat Semiwati.
Dalam kesedihan dan tekanan yang mendalam, seringkali Semiwati berdiri di pintu gerbang keluar rumah sakit dan berteriak minta pulang, tapi tidak ada satupun yang datang untuk menenangkan dirinya. Yang ada hanyalah para petugas keamanan yang menarik dan memaksanya masuk ke dalam kamarnya yang seperti penjara. Seringkali Semiwati merasa dirinya sebagai pribadi yang sehat dan tidak menderita sakit jiwa, sehingga Semiwati tidak dapat menerima keberadaannya di rumah sakit itu.
Setelah sebulan berlalu, Semiwati pun diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan. Namun sejak saat itu hidup Semiwati seperti tidak berarti. Hidupnya tergantung pada obat-obat penenang. Tak mudah bagi Semiwati untuk keluar dari kenangan akan ibunya. Untuk itu hampir setiap hari ia menghabiskan waktunya di gereja. Di sanalah ia berkenalan dengan ibu Ana. Ibu Ana inilah yang banyak menghibur dan menguatkan Semiwati untuk menyerahkan semuanya kepada Tuhan. Semiwati diajar untuk mengandalkan Tuhan dan menempatkan Yesus di atas segala-galanya di dalam hidupnya. Dia tidak perlu takut apalagi merasa sendirian untuk menjalani hari-hari hidupnya.
"Melalui Firman Tuhan, saya ditegur masih ada Tuhan yang mengasihi saya jauh melebihi siapapun. Jauh melebihi orang terdekat sekalipun. Dan Dia tidak pernah meninggalkan saya," ujar Semiwati dengan mata berkaca-kaca mengingat bagaimana Tuhan memulihkan hidupnya kembali.
Iman Semiwati seketika itu bangkit. Dengan berani ia membuat sebuah keputusan yang akan mengubah hidupnya. Semiwati mulai menerima kenyataan bahwa sebenarnya ibunya sudah meninggal. Berangkat dari sana, Semiwati mulai mendapat kekuatan dan pengharapan baru untuk melangkah. Langkah iman itu dimulai dengan berhenti mengonsumsi obat-obat penenang. Dukungan dan doa teman-teman seiman juga membantu kesembuhan Semiwati. Dengan menghentikan ketergantungannya terhadap obat, Semiwati menjadi yakin bahwa dirinya sudah sembuh total.
"Saya percaya Tuhan menyembuhkan secara sempurna. Sakit itu tidak akan terulang lagi. Saya mulai menata hidup lebih baik lagi, tidak takut lagi menjalani hidup," tambah Semiwati.
Proses kesembuhan Semiwati berlangsung cepat. Kedahsyatan dan kebaikan Tuhan nyata atas hidup Semiwati. Kejiwaannya yang rapuh dipulihkan. Pada tahun 2000, Semiwati mendapat kepercayaan untuk mengajar di sebuah sekolah dasar di Jakarta. Kemudian di Tahun 2003, Tuhan mempertemukan Semiwati dengan Joa'o Da Costa yang kini menjadi suaminya.
"Saya percaya bahwa dia adalah yang terbaik dari Tuhan. Dan saya menyayangi dia dengan sepenuh hati saya. Saya tidak melihat latar belakangnya tapi satu hal yang saya tahu bahwa saya sangat bersyukur dan saya menyayangi istri saya," ujar Joa'o, suami Semiwati sambil tersenyum bahagia.
"Dan menurut saya itu berkat dari Tuhan. Saya jalani hidup dengan penyertaan Tuhan. Sampai saat ini saya masih dapat berkata Tuhan itu hebat. Dia luar biasa," ujar Semiwati menambahkan sambil menutup kesaksiannya.
Sumber Kesaksian :Semiwati